BT- Sebenarnya aku dilahirkan menjadi anak yang beruntung. Papa punya kedudukan di kantor dan Mama seorang juru rias / ahli kecantikan terkenal. Sering jadi pembicara dimana-mana bahkan sering menjadi perias pengantin orang-orang beken di kotaku.
Sayangnga mereka semua orang-orang sibuk. Kakakku, Kak Luna, usianya
terpaut diatasku 2 tahun. Hanya dialah tempatku sering mengadu. Semenjak
dia punya pacar, rasanya semakin jarang aku dan kakakku saling berbagi
cerita.
Saat itu Kak Luna sudah di SMA kelas 3. Banyak teman-temanku maupun
teman kakakku naksir kepadaku. Kata mereka sih aku cantik. Walaupun aku
merasa biasa-biasa saja (Tapi dalam hati bangga lho.., he.., he..) Aku
punya body bongsor dengan kulit putih bersih.
Rambut hitam lurus, mata bulat dan bibir seksi (katanya sich he..,
he..). Saat itu aku merasa bahwa payudaraku lebih besar dibandingkan
teman-temanku, kadang-kadang suka malu saat olah raga, nampak payudaraku
bergoyang-goyang. Padahal sebenarnya hanya berukuran 34B saja.
Salah seorang teman kakakku, Kak Agun namanya, sering sekali main ke
rumah. Bahkan kadang-kadang ikutan tidur siang segala. Cuma seringnya
tidur di ruang baca, karena sofa di situ besar dan empuk. Ruangannya ber
AC, full music. Kak Agun bahkan dianggap seperti saudara sendiri. Mama
dan orang tuanya sudah kenal cukup lama.
Saat itu hari Minggu, Mama, Papa, dan Kak Luna pergi ke luar kota. Mak
Yam pembantuku pulang kampung, Pak Rebo tukang kebun sedang ke tempat
saudaranya. Praktis aku sendirian di rumah. Aku sebenarnya diajak Mama
tapi aku menolak karena PR bahasa Inggrisku menumpuk.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi derit rem. Aku melihat Kak Agun berdiri
sambil menyandarkan sepeda sportnya ke garasi. Tubuhnya yang dibalut
kaos ketat nampak basah keringat.”Barusan olah raga…, muter-muter, terus
mampir…, Mana Kak Luna?”, tanyanya. Aku lalu cerita bahwa semua orang
rumah pergi keluar kota. Aku dan Kak Agun ngobrol di ruang baca sambil
nonton TV. Hanya kadang-kadang dia suka iseng, menggodaku.
Tangannya seringkali menggelitik pinggangku sehingga aku kegelian. Aku
protes, “Datang-datang…, bikin repot. Mending bantuin aku ngerjain PR”.
Eh…, Kak Agun ternyata nggak nolak, dengan seriusnya dia mengajariku,
satu persatu aku selesaikan PR-ku. “Yess! Rampung!”, aku menjerit
kegirangan.
Aku melompat dan memeluk Kak Agun, “Ma kasih Kak Agun”. Nampaknya Kak
Agun kaget juga, dia bahkan nyaris terjatuh di sofa. “Nah…, karena kamu
sudah menyelesaikan PR-mu, aku kasih hadiah” kata Kak Agun. “Apa itu?
Coklat?”, kataku. “Bukan, tapi tutup mata dulu”, kata dia. Aku agak
heran tapi mungkin akan surprise terpaksa aku menutup mata.
Tiba-tiba aku merasa kaget, karena bibirku rasanya seperti dilumat dan
tubuhku terasa dipeluk erat-erat. “Ugh…, ugh…”, kataku sambil berusaha
menekan balik tubuh Kak Agun. “Alit…, nggak apa-apa, hadiah ini karena
Kak Agun sayang Alit”. Rasanya aku tiba-tiba lemas sekali, belum sempat
menjawab bibirku dilumat lagi.
Kini aku diam saja, aku berusaha rileks, dan lama-lama aku mulai
menikmatinya. Ciuman Kak Agun begitu lincah di bibirku membuat aku
merasa terayun-ayun. Tangannya mulai memainkan rambutku, diusap lembut
dan menggelitik kupingku. Aku jadi geli, tapi yang jelas saat itu aku
merasa beda. Rasanya hati ini ada yang lain.
Kembali Kak Agun mencium pipiku, kedua mataku, keningku dan
berputar-putar di sekujur wajahku. Aku hanya bisa diam dan menikmati.
Rasanya saat itu aku sudah mulai lain. Napasku satu persatu mulai
memburu seiring detak jantungku yang terpacu. Kemudian aku diangkat dan
aku sempat kaget! “Kak Agun…, kuat juga”.
Dia hanya tersenyum dan membopongku ke kamarku. Direbahkannya aku di
atas ranjang dan Kak Agun mulai lagi menciumku. Saat itu perasaanku
tidak karuan antara kepingin dan takut. Antara malu dan ragu. Ciuman Kak
Agun terus menjalar hingga leherku. Tangannya mulai memainkan
payudaraku
angan…, jangan…, acch…, acch…”, aku berusaha menolak namun tak
kuasa. Tangannya mulai menyingkap menembus ke kaos Snoopy yang kupakai.
Jari-jemarinya menari-nari di atas perut, dan meluncur ke BH. Terampil
jemarinya menerobos sela-sela BH dan menggelitik putingku.
Saat itu aku benar-benar panas dingin, napasku memburu, suaraku rasanya
hanya bisa berucap dan mendesis-desis “ss…, ss…”,. Tarian jemarinya
membuatku terasa limbung, ketika dia memaksaku melepas baju, aku pun tak
kuasa. Nyaris tubuhku kini tanpa busana. Hanya CD saja yang masih
terpasang rapi.
Kak Agun kembali beraksi, ciumannya semakin liar, dan jemarinya, telapak
tangannya mengguncang-guncang payudaraku, aku benar-benar sudah hanyut.
Aku mendesis-desis merasakan sesuatu yang nikmat. Aku mulai berani
menjepit badannya dengan kakiku.
Namun malahan membuatnya semakin liar. Tangan Kak Agun menelusup ke
CD-ku. Aku menjerit, “Jangan…, jangan…”, aku berusaha menarik diri. Tapi
Kak Agun lebih kuat. Gesekan tangannya mengoyak-koyak helaian rambut
kemaluanku yang tidak terlalu lebat. Dan tiba aku merasa nyaris
terguncang, ketika dia menyentuh sesesuatu di “milikku”.
Aku menggelinjang dan menahan napas, “Kak Agun…, ohh.., oh…”, aku
benar-benar dibuatnya berputar-putar. Jemarinya memainkkan clit-ku.
Diusap-usap, digesek-gesek dan akhirnya aku ditelanjangi. Aku hanya bisa
pasrah saja. Tapi aku kaget ketika tiba-tiba dia berdiri dan penisnya
telah berdiri tegang.
Aku ngeri, dan takut. Permainan pun dilanjutkan lagi, saat itu aku
benar-benar sudah tidak kuasa lagi, aku pasrah saja, aku benar-benar
tidak membalas namun aku menikmatinya. Aku memang belum pernah
merasakannya walau sebenarnya takut dan malu.
Tiba-tiba aku kaget ketika ada “sesuatu” yang mengganjal menusuk-nusuk
milikku, “Uch…, uch…”, aku menjerit. “Kak Agun, Jangan…, ach…, ch…, ss…,
jangan”. Ketika dia membuka lebar-lebar kakiku dia memaksakan miliknya
dimasukkan. “Auuchh…”, aku menjerit. “Achh!”, Terasa dunia ini berputar
saking sakitnya.
Aku benar-benar sakit, dan aku bisa merasakan ada sesuatu di dalam.
Sesaat diam dan ketika mulai dinaik-turunkan aku menjerit lagi, “Auchh…,
auchh…”. Walaupun rasanya (katanya) nikmat saat itu aku merasa sakit
sekali. Kak Agun secara perlahan menarik “miliknya” keluar. Kemudian dia
mengocok dan memuntahkan cairan putih.
Saat itu aku hanya terdiam dan termangu, setelah menikmati cumbuan aku
merasakan sakit yang luar biasa. Betapa kagetnya aku ketika aku melihat
sprei terbercak darah keperawanan ku. Aku meringis dan menangis
sesenggukan. Saat itu Kak Agun memelukku dan menghiburku, “Sudahlah Alit
jangan menangis, hadiah darah keperawanan ini akan menjadi
kenang-kenangan buat kamu. Sebenarnya aku sayang sama kamu”
Saat itu aku memang masih polos, pengetahuan seksku masih minim. Aku
menikmati saja tapi ketika melihat darah keperawawan ku di atas sprei,
aku jadi bingung, takut, malu dan sedih. Aku sebenarnya sayang sama Kak
Agun tapi…,
Ternyata akhirnya dia kawin dengan cewek lain karena “kecelakaan”. Sejak itu aku jadi benci…, benci…, bencii…, sama dia. END